Meningkatkan mutu pengabdian profesi
guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam mempercepat tercapainya tujuan
pembangunan nasional, khususnya program pembangunan pendidikan, dengan jalan :
BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan mutu pengabdian profesi
guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam mempercepat tercapainya tujuan
pembangunan nasional, khususnya program pembangunan pendidikan, dengan jalan :
(1)
|
meningkatkan pemasyarakatan Kode
Etik Guru Indonesia terhadap seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya
serta masyarakat secara umum;
|
(2)
|
meningkatkan perilaku guru dan
tenaga kependidikan lainnya dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
etika guru demi terciptanya proses pengabdian profesi kependidikan yang lebih
baik;
|
(3)
|
menciptakan suasana masyarakat
yang lebih kondusif, sehingga akan lebih menguntungkan dalam proses
pengabdian dan penerapan etika guru.
|
Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka sasaran dari pembinaan dan
pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai berikut:
(1)
|
guru dan tenaga kependidikan
lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan
baik;
|
(2)
|
terjadinya pemahaman tentang etika
guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga
kependidikan;
|
(3)
|
tumbuhnya pengakuan dari
pemerintah dan masyarakat secara luas akan pengabdian profesi kependidikan
dan Kode Etik Guru Indonesia.
|
Pasal 18
Jenis Kegiatan
(1)
|
Menganjurkan kepada pemerintah dan
swasta penyelenggra pendidikan untuk memasukan materi Kode Etik Guru
Indonesia khususnya di lembaga kependidikan.
|
(2)
|
Menyelenggarakan berbagai
pertemuan profesional secara individual kelompok maupun klasikal dalam
membahas dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru.
|
(3)
|
Menyebarluaskan informasi secara
tertulis melalui majalah suara guru dan yang lainnya tentang Kode Etik Guru
Indonesia terhadap calon guru dan guru serta tenaga kependidikan lainnya.
|
(4)
|
Menyelenggarakan berbagai kegiatan
lainnya yang dinilai tidak mengikat dan dapat mencapai pemasyarakatan dan
pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di lingkungan kependidikan maupun di
pemerintahan dan masyarakat.
|
Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1)
|
Kode Etik Guru Indonesia.
|
(2)
|
Lapal pengucapan janji dan sumpah
guru dan tenaga kependidikan lainnya.
|
(3)
|
Hukum, aturan dan ketentuan yang
ada kaitannya dengan kependidikan.
|
(4)
|
Status guru.
|
(5)
|
Materi-materi lain yang dapat
dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode
Etik Guru Indonesia.
|
Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1)
|
Kegiatan pemasyarakatan dan
pembinaan Kode Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Guru,
dengan jalan bahwa pengurus pusat bertanggung jawab untuk menetapkan
garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan (GBPP) untuk dijabarkan dan
dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah.
|
(2)
|
Dalam melaksanakan pemasyarakatan
dan pembinaan seperti ayat satu di atas, maka Dewan Kehormatan Guru dapat
bekerja sama dengan pengurus PGRI, mitra pendidikan, dan instansi pemerintah
dan kemasyarakatan lainnya, yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus
PGRI.
|
BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK
GURU INDONESIA
Pasal 21
T u j u a n
(1)
|
Memecahkan berbagai masalah
pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik berasal dari komponen
pemerintah, masyarakat, atau guru dan tenaga kependidikan lainnya.
|
(2)
|
Menegakkan kebenaran dan keadilan
bagi seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya sebagai pelaksana
pengabdian profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya; serta bagi seluruh
komponen masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kependidikan.
|
Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1)
|
Menangani berbagai perilaku yang
menyimpang dari Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan oleh guru dan tenaga
kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan pengabdian profesi kependidikan.
|
(2)
|
Penanganan penyimpangan seperti
dimaksud dalam ayat satu di atas baru dapat dilakukan apabila
terjadi pengaduan, ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau DKGI menduga
terjadi adanya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia.
|
Pasal 23
Proses Pengaduan
(1)
|
Para pihak yang menemukan
terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia dapat mengajukan
melalui surat pengaduan kepada DKGI tempat terjadinya masalah tersebut.
|
(2)
|
Apabila di daerah kejadian
tersebut belum ada DKGI Kab/Kot maka surat pengaduan diajuakan ke DKGI
Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka bisa diajuka ke DKGI pusat.
|
(3)
|
Surat pengajuan pengaduan dianggap
sah apabila diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan berbagai identitas
pengaduan yang diajukan dan bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang
terhadap pengaduan yang diajukan tersebut.
|
(4)
|
Surat pengajuan pengaduan dianggap
tidak sah apabila diajukan tidak dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang
cukup, dan identitas yang selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian
tersebut sudah melewati waktu dua setengah tahun atau lebih.
|
(5)
|
Apabila surat pengaduan pertama
kali bukan diterima oleh pengurus DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/kota, maka
paling lambat dua minggu setelah diterimanya surat pengaduan tersebut harus
segera diteruskan kepada DKGI Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian
tersebut diajukan.
|
(6)
|
Apabila DKGI dimana terjadinya
kejadian pengajuan belum terbentuk, maka surat pengaduan sebagaimana ayat 5
di atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI
Provinsi yang belum terbentuk, maka pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI
pusat.
|
Pasal 24
Pengkajian
(1)
|
Setiap pengajuan yang diajukan
karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia harus dikaji terlebih
dahulu secara berhati-hati dan seksama dengan prinsip penanganan berdasarkan
asas praduga tak bersalah.
|
||
(2)
|
Kegiatan pengkajian sebagaimana
ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi tugas dan wewenang pengurus
DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut :
|
||
a.
|
mempelajari identitas pengaduan
yang diajukan;
|
||
b.
|
mempelajari berkas-berkas sebagai
bukti tertulis yang diajukan;
|
||
c.
|
mengambil kesimpulan sementara
absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut;
|
||
d.
|
mempelajari masalah lebih dalam
dan luas lagi, dengan cara :
|
||
1)
|
mengundang pengadu dan yang
diadukan secara terpisah untuk sama-sama melengkapi dan memberi penjelasan
tentang duduk permasalahan sebenarnya;
|
||
2)
|
mengundang saksi dari para pihak
secara terpisah apabila ada dan diajukan untuk sama-sama meminta informasi
dalam memperjelas masalah yang diajukan;
|
||
3)
|
melakukan kunjungan ke tempat
terjadinya kejadian untuk memperoleh keterangan yang lebih jelas dan akurat,
ataupun hubungannya dengan benda-benda atau barang-barang bukti yang sifatnya
tidak bisa dipindahkan; dan
|
||
4)
|
apabila diperlukan maka
diperbolehkan mengundang pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan masalah yang
diajukan untuk dijadikan saksi ahli;
|
||
e.
|
melakukan sidang DKGI secara
lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan sidang–sidang
selanjutnya.
|
Pasal 25
Barang Bukti
(1)
|
Pada waktu pemanggilan saksi dan
kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian, maka pada waktu itu pula dapat
dimintakan untuk memperlihatkan berbagai barang bukti, dan jika
diperlukan diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan
atau gambar.
|
(2)
|
Apabila pengadu dan teradu serta
saksi menolak memperlihatkan barang bukti dan pengambilan suara dan gambar
sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal ini dapat dicatat untuk dijadikan
bahan pertimbangan pada waktu pengambilan keputusan.
|
(3)
|
DKGI tidak berwenang melakukan
penyitaan terhadap barang-barang bukti yang diajukan melainkan bisa melalui
pihak–pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
|
Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1)
|
Pada waktu proses pengkajian dan
sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
|
(2)
|
Yang dimaksud pembela adalah
Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI.
|
(3)
|
Hak yang dimiliki tersebut harus
terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai.
|
(4)
|
Mengingat sifat kejadian yang
ditangani menyangkut etika guru sangat khusus dan lebih pelik, maka
dibenarkan dan berhak untuk didampingi pembela dari luar dapat
dipertimbangkan, apabila yang dimintakan teradu adalah pembela berasal dari
luar LKBH PGRI.
|
Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1)
|
Apabila dalam penanganan kejadian
pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud diperlukan adanya saksi ahli,
maka dapat dimintai kehadirannya dalam setiap sidang dalam forum DKGI.
|
(2)
|
Penunjuk saksi ahli menjadi
wewenang sepenuhnya dari DKGI.
|
(3)
|
Saksi ahli tahap pertama harus
diambil dari lingkungan organisasi PGRI beserta seluruh kelengkapan perangkat
organisasi, namun apabila tidak ada maka dapat diminta di luar organisasi
PGRI.
|
Tidak ada komentar :
Posting Komentar